Minggu, 09 April 2017

05.00

Testimoni Perkuliah Psikologi Pendidikan USU 2016


Baiklah saya akan menyampaikan testimoni perkuliahan Psikologi Pendidikan di USU tahun ajaran 2016/2017. Menurut saya mata Kuliah Psikologi Pendidikan cukup menyenangkan dan menarik, karena di mata kuliah tersebut saya jadi bisa memahami peran psikologi di bidang pendidikan. Dosen yang mengajar mata kuliah tersebut pun sangat menyenangkan, dengan pemberian reward kepada mahasiswa yang aktif dan mampu menjawab pertanyaan dari dosen. Di mata kuliah tersebut juga kami diberi tugas untuk observasi ke sekolah-sekolah yang ada di Medan tentang menajemen kelas. Tugas yang berikan cukup menangtang walaupun terdapat kesulitan di sana sini. Tetapi kelompok kami mampu untuk melewatinya.
Cukup sekian testimoni dari saya, saya ucapkan terima kasih kepada setiap dosen yang mengajar mata kuliah Psikologi Pendidikan.
04.33

Hasil Observasi Kelompok ke SMP METHODIST 2


I. IDENTITAS SEKOLAH :

Nama Sekolah : SMP Methodist-2 Medan
Alamat              : Jl. M. H Thamrin no.96, Medan Sumatera Utara-Indonesia
Telepon            : (061) 4565281
Fax                    : (061) 4567246
Email                : info @methodist2mdn.sch.id
Visi Sekolah   :
Agar para siswa-siswi dapat meninggalkan pintu gerbang sekolah Methodist-2 Medan sebagai orang yang mencintai Tuhan, mematuhi aturan/hukum dan penuh keperdulian yang diimani dengan nilai-nilai moral Kristen yang kuat dan dipenuhi dengan kebanggaan dan kesetiaan terhadap sekolah.
Misi Sekolah  :
Sebagai sekolah Kristen, Methodist-2 Medan mengajarkan karakter yang kuat yang didasarkan pada ajaran-ajaran Tuhan Yesus Kristus yang melingkupi ukuran akal budi, rohani dan jasmani.
II. URAIAN AKTIVITAS OBSERVASI
            Hari                             : 31 Maret 2017
            Waktu                                     : 08.10-08.40 WIB
            Lama Observasi          : 30 menit
            Pembagian Tugas        : Seluruh anggota kelompok 10 yang terdiri dari tujuh orang mahasiswa dari fakultas psikologi bersama-sama melakukan pengamatan di kelas IX A SMP METHODIST 2 dengan tanya jawab kepada sebagian siswa di dalam kelas, mengamati lingkungan fisik kelas, mengamati proses belajar di luar kelas saat pelajaran olahraga, dan mengambil foto & video selama proses observasi.
Narasumber                 : Siswa/siswi SMP Methodist 2, Bapak O. Sembiring selaku guru mata pelajaran penjaskes dan ibu Risma selaku guru BP.                              
III. BEBERAPA HAL MENGENAI OBSERVASI YANG DILAKUKAN
Kelompok                              : 10 (Sepuluh)
Anggota                                  :
-          Ahmad Raihan Budiman (161301128)
-          Berliana Nadya (161301133)
-          Debora Saragih (161301097)
-          Dicki Rahmad Chan (161301112)
-          Hafiza Hanim (161301095)
-          Yuni Natasya (161301080)
-          Siti Syafiqah (161301083)
Suasana Observasi    : Suasana observasi cukup menyenangkan dan lancar, meskipun waktu yang diberikan oleh pihak sekolah untuk mengobservasi kegiatan belajar mengajar sanga sempit, tetapi data yang didapatkan cukup memuaskan. Para guru dan siswa juga sangat ramah dan koorporatif dengan para observer.
Hasil Observasi          : Pada saat kami melakukan observasi, ada 15 orang anak yang sedang keluar ruang kelas untuk ujian mata pelajaran penjaskes.


                        Siswa-siswi di kelas ini merupakan gabungan siswa-siswi yang berprestasi dari seluruh kelas VII. Hal-hal yang membuat kelas tidak kondusif adalah Kelas IX A yang kami observasi merupakan kelas yang tergolong padat sehingga berpotensi kacau atau tidak kondusif. Ruang kelas kami nilai terlalu kecil untuk dihuni sebanyak 56 orang siswa dan fasilitas AC yang kurang mumpuni membuat siswa masih merasa kepanasan dan kurang nyaman dalam belajar, padahal kelas merupakan tempat disetting untuk banyak aktivitas mulai dari aktivitas akademik sampai dengan aktivitas sosial (bermain, berkomunikasi dengan teman, berdebat,dll).
Gaya penataan kelas yang dipakai adalah gaya auditorum tradisional yaitu semua murid duduk menghadap guru, sehingga tidak membatasi kontak tatap muka antar murid dan guru bebas bergerak.








Kelas IX A memiliki ruang kelas yang lumayan kecil untuk jumlah siswa yang cukup banyak, meja yang menyatu serta kursi panjang untuk dua orang membuat para  siswa sedikit tidak leluasa, masing-masing meja memiliki laci untuk lokasi penyimpanan pensil dan beberapa buku. Kelas memiliki dua mesin pendingin (AC), intensitas cahaya yang cukup, papan tulis whiteboard, dan ketersediaan proyektor (namun sedang bermasalah). Perangkat kelas seperti ketua dan wakil kelas, sekretaris dan bendahara juga memiliki peran dalam kelangsungan proses belajar. Para murid juga mendapat kesempatan bertanya baik di kelas dan diluar kelas jika mengalami kesulitan dalam belajar. Para murid memiliki penilaian terhadap guru favorit yang ditinjau dari pemberian materi dan nilai yang baik.
Sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai, guru tidak mengabsen murid – murid yang hadir, melainkan sekertaris kelaslah yang mengabsen siswa. Pada saat kami melakukan observasi kelas dibagi menjadi dua kegiatan, yaitu 15 murid pergi melaksanakan kegiatan ujian di lapangan dan manajemen kelas dalam ruangan diambil alih oleh ibu risma. 


Sebagian besar murid menunjukkan antusiasmenya mendengarkan ibu risma berbicara untuk memotivasi murid agar tidak mengalami problem akademik dan emosional. Walapun ada dua orang murid ang kami lihat bermain gadget di kelas, kemudian diingatkan oleh gurunya. Guru dalam kelas kami nilai dapat menjaga kelancaran dan kontinuitas pelajaran.

Stategi umum yang kami lihat dalam manajemen kelas yang dilakukan oleh bu risma adalah gaya otoritatif. Sebagaimana yang dikatakan dalam teori, guru yang otoritatif melibatkan murid dalam kerjasama give and take dan menunjukkan perhatian kepada mereka. Guru yang otoritatif menjelaskan aturan dan regulasi, serta menentukan  standar dengan masukan dari murid.
Komuniksi yang dilakukan oleh guru kepada muridnya adalah komunikasi secara verbal dan bersikap asertif (tegas). Ceramah yang diberikan juga efektif. Murid- murid juga berperilaku hagat, aktif dan menyenangkan. Serta tidak malu – malu ntuk menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru.

Selain itu kami juga melihat kegiatan yang dilakukan di lapangan. Para murid menunjukkan antusiasme yang serupa dengan yang ada di dalam kelas.


IV. KESIMPULAN
            Kami menyimpulkan bahwa manajemen kelas yang dilakukan oleh guru sudah cukup baik sehingga murid menjadi sangat aktif dikelas, mandiri, menunjukkan penghargaan diri yang tinggi, dan hangat, meskipun fasilitas dalam kelas kurang memadai.

Sabtu, 08 April 2017

03.27

Pendekatan Behavioral untuk Pembelajaran

Pendekatan Behavioral untuk Pembelajaran
Pengkondisian Klasik
Pengkondisian klasik adalah tipe pembelajaran di mana suatu organism belajar untuk mengaitkan atau mengasosiasikan stimuli. Tokoh dalam pengkondisian klasik ini adalah Ivan Pavlov. Untuk memahami teori pengkondisian klasik Pavlov, kita harus memahami dua tipe stimuli dan dua tipe respons yaitu:
1.      Unconditioned Stimulus (US)
Adalah sebuah stimulus yang secara otomatis menghasilkan respon tanpa ada pembelajaran terlebih dahulu.
2.      Unconditioned Response (UR)
Adalah response yang tidak dipelajari yang secara otomatis dihasilkan oleh US
3.      Conditioned Stimulus (CS)
Adalah stimulus yang sebelumnya netral yang akhirnya menghasilkan conditioned response setelah diasosiasikan dengan US.
4.      Conditioned Response (CR)
Adalah response yang dipelajari, yakni response terhadap stimulus yang terkondisikan yang muncul setelah terjadi pasangan US-CS.
Pengkondisian klasik dapat berupa pengalaman negative dan positif dalam diri anak di kelas. Di antara hal-hal disekolah anak yang menghasilkan kesenangan karena telah dikondisikan secara klasik adalah lagu favorit, perasaan bahwa kelas adalah tempat yang aman dan menyenangkan, dan kehangatan dan perhatian guru.
Generalisasi, Diskriminasi, dan Pelayan
Generalisasi dalam pengkondisian klasik adalah tendensi dari stimulus baru yang sama dengan conditioned stimulus yang asli untuk menghasilkan respons yang sama. Contohnya, murid dimarahi karena ujian biologinya buruk,. Saat murid itu mulai bersiap untuk ujian kimia, dia juga menjadi gugup karena dua mata pelajaran itu saling berkaitan. Jadi, murid itu menggeneralisasikan satu ujian mata pelajaran dengan mata pelajaran lainnya.
Diskriminasi dalam pengkondisian klasik terjadi ketika organism merespons stimulu tertentu tetapi tidak merespons stimuli lainnya. Contohnya, murid yang mengikuti ujian di kelas, dia begitu gugup saat menempuh ujian pelajaran bahasa inggris atau sejarah karena dua mata pelajaran itu jauh berbeda dengan pelajaran kimia dan biologi.
Pelenyapa (extinction) dalam pengkondisian klasik adalah pelemahan conditioned response (CR) karena tidak adanya unconditioned stimulus (US).
Desensitisasi Sistematis
Desensitasi Sistematis (systematic desensitization) adalah sebuah metode yang didasarkan pada pengkondisian klasik yang dimaksudkan untuk mengurangi kecemasan dengan cara membuat inddividu mengasosiasikan relaksasi dengan visualisasi situasi yang menimbulkan kecemasan. Tujuan dari desensitasi sistematis adalah membuat murid tersebut  mengasosiasikan bicara di depan public dengan relaksasi, bukan kecemasan. Dengan menggunakan visualisasi yang berkali-kali, murid yang gugup saat akan berbicara di depan orang banyak, bisa melatih desensitasi sistematis selama dua minggu sebelum bicara, kemudian seminggu sebelum bicara, lalu empat hari sebelum bicara, pagi hari sebelum maju bicara, saat masuk ke ruang tempat dia akan berbicara di depan punlik, saat berjalan ke podium, dan saat berbicara.
Pengkondisian Operan
Pengkondisian Operan adalah sebuah bentuk pembelajaran di mana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi. Tokoh utama dalam pengkondisian operan adalah B.F. Skinner, yang pandangannya didasarkan pada pandangan E.L Thorndike.
Hukum Efek Thorndike
Hukum efek (law effect) Thorndike menyatakan bahwa perilaku yang diikuti dengan hasil positif akan diperkuat dan bahwa perilaku yang diikuti hasil negative akan di perlemah. Menurut Thorndike, asosiasi S-R yang tepat akan diperkuat, dan asosiasi yang tidak tepat akan diperlemah, karena konsekuensi dari tindakan organisme.
Pengkondisian Operan Skinner
Pengkondisian operan Skinner, dimana konsekuensi perilaku akan menyebabkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan terjadi, merupakan inti dari behaviorisme Skinner. Konsekuensi-imnalan atau hukuman-bersifat sementara (kontingen) pada perilaku organisme.
Penguatan dan hukuman
·         Penguatan (imbalan) (reinforcement) adalah konsekuensi yang meningkatkan probabilitas bahwa suatu perilaku akan terjadi.
-          Penguatan positif : frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan stimulus yang mendukung (rewarding)
-          Penguatan negatif : frekuensi respons meningkat karena diikuti dengan penghilangan stimulus yang merugikan (tidak menyenangkan)
·         Hukuman (punishment) adalah konsekuensi yang menurunkan probabilitas terjadinya suatu perilaku.




Kamis, 06 April 2017

23.44

Intelegensi

INTELEGENSI

Pandangan Awam
Intelegensi adalah istilah yang menggambarkan kecerdasar, kepintaran ataupun kemampuan untuk memcahkan masalah yang dihadapi. Intelegensi terbagi menjadi 2 yaitu :
1.      Inteligen Tinggi: Kemampuan untuk memahami dan menyelesaikan problem mental dengan cepat, kemampuan mengingat, kreativitas tinggi dan imajinasi yang berkembang
2.      Intelegensi Rendah: Kemampuan dengan perilaku yang lamban, tidak cepat mengerti, kurang mampu menyelesaikan problem mental yang sederhana.
Intelegensi Menurut Ahli
Terman (1916)       : Intelegensi adalah kemammpuan seseorang untuk berpikir secara abstrak.
Thorndike (1921)   : Intelegensi adalah kemampuan dalam memberikan respon yang baik dari                                    pandangan kebenaran atau fakta.
Wechsler                : Intelegensi sebagai totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan dengan efektif.
Flynn                      : Intelegensi adalah kemampuan berpikir secara abstrak dan kesiapan untuk belajar dari pengalaman.
Keberhasilan dalam Belajar
Keberhasilan dalam belajar dipengaruh beberapa factor diantaranya :
·         Faktor Internal
-Fisik                           : Panca Indera, kondisi Psikologis
-Non Kognitif                         : Minat, motivasi, kepribadian
-Kognitif                     : Bakat dan Intelegensi
·         Faktor Eksternal
-Fisik               : Kondisi tempat belajar, sarana dan perlengkapan belajar, materi                   belajar, dan kondisi lingkungan belajar.
-Sosial             : Dukungan social dan pengaruh budaya

Tes Intelegensi Individual

Tes Binet
Pada tahun 1904 Menteri Pendidikan Perancis meminta Psikolog Alfred Binet untuk menyusun  metode guna mengidentifikasi anak-anak yang tidak mampu belajar di sekolah. Binet dan mahasiswanya, Theophile Simon, menyusun tes intelegensi untuk memenuhi permintaan ini. Tes ini terdiri dari 30 pertanyaan, mulai dari kemampuan untuk menyentuh telinga hingga kemampuan untuk menggambar desain berdasarkan ingatan dan mendefinisikan konsep abstrak. Binet mengembangkan konsep Mental Age (MA) atau usia mental, yakni level perkembangan mental individu yang berkaitan dengan perkembangan lain. Lalu pada tahun 1912 William Stern menciptakan konsep Intelligence quotient (IQ), yaitu usia mental seseorang dibagi dengan usia kronologis (chronologi age-CA), dikalikan 100. Jadi rumusnya, IQ = MA/CA x 100. Jika usia mental sama dengan usia kronologisnya, mak IQ orang tersebut adalah 100, jika usia mental diatas usia kronologisnya, maka IQ orang tersebut lebih dari 100.

Skala Wechsler
Skala Wechsler adalah tes yang dikembangkan oleh David Wechsler. Tes ini mencakup Wechsler Preschool and Primary Scale of Intellegence-Revised (WPPSIR) untuk menguji anak usia 4 sampai 6,5 tahun. Wechsler Intellegence Scale for Children-Revised (WISC-R) untuk anak dan remaja dari usia 6 hingga 16 tahun dan Wechsler Adult Intellegence Scale-Revised (WAIS-R). Selain menunjukkan IQ keseluruhan, skala Wechsler juga menunjukkan IQ verbal dan IQ kinerja.

Teori Multiple Intellegences
Charles Spearman mengatakan bahwa orang punya intelegensi umum yang disebut g, dan tipe intelegensi spesifik yang disebut s. Sejak awal 1930-an, L.L Thurstone (1938) mengatakan orang mempunyai tujuh kemampuan intelektual spesifik yang dinamakan kemampuan primer yaitu:
1.      Pemahaman Verbal
2.      Kemampuan Angka
3.      Kefasihan Kata
4.      Visualisasi Spasial
5.      Memori Asosiatif
6.      Penalaran
7.      Kecepatan Persepsi
Teori Triarkis Sternberg
Menurut teori yang dikembangkan oleh Robert J. Sternberg (1986, 2000), intelegensi muncul dalam bentuk:
1.      Intelegensi Analitis : kemampuan untuk menganalisis, menilai, mengevaluasi, membandingkan, dan mempertentangkan. Murid dengan kemampuan analitis yang tingi cenderung lebih disukai dalam sekolah umum (konvensional). Mereka mudah dalam menyerap pelajaran dan sering kali mendapat nilai bagus dan peringkat yang bagus pula.
2.      Intelegensi Kreatif : kemampuan untuk mencipta, mendesain, menciptakan, menemukan, dan mengimajinasikan. Murid dengan intelegensi kreatif tinggi biasanya bukan ranking atas dalam kelas. Mereka tidak dapat memeberi jawaban yang lazim dan tepat, tetapi jawaban yang unik dan aneh. Sehingga sering dimarahi dan disalahkan
3.      Intelegensi Praktis   : kemampuan untuk menggunakan, mengaplikasikan, mengimplementasikan, dan mempraktikkan. Murid dengan intelegensi praktis sering kali kesulitan memenuhi keinginan sekolah. Namun, murid ini sering kali berprestasi di luar sekolah. Mereka mempunyai keahlian social yang bagus dan pemahaman umum yang baik.

Delapan Kerangka Pikian Gardner
1.      Keahlian verbal: kemampuan untuk berpikir dengan kata dan menggunakan bahasa untuk mengekspresikan makna (penulis, wartawan, pembicara)
2.      Keahlian matematika : kemampuan untuk menyelesaikan operasi matematika (ilmuwan, insinyur, akuntan)
3.      Keahlian spasial : kemammpuan untuk berpikir tiga dimensi (arsitek, perupa, pelaut)
4.      Keahlian tubuh-kinestetik : kemampuan untuk memanipulasi objek dan cerdas dalam hal-hal fisik (ahli bedah, pengrajin, penari, atlet)
5.      Keahlian musik : sensitive terhadap nada, melodi, irama, dan suara (composer, musisi, dan pendengar yang sensitive)
6.      Keahlian intrapersonal : kemampuan untuk memahami diri sendiri dan menata kehidupan dirinya secara efektif (teolog, psikolog)
7.      Keahlian interpersonal : kemampuan untuk memahami dan berinteraksi secara efektif dengan orang lain (guru teladan, professional kesehatan mental)
8.      Keahlian naturalis : kemampuan untuk mengamati pola-pola di alam dan memahami sistem alam dan sistem buatan manusia (petani, ahli botanim ahli ekologi, ahli tanah).


21.49

Pendidikan Multikultural


Pendidikan Multikultural
Pada 1963 Presiden John Kennedy mengatakan “Perdamaian adalah proses harian, mingguan, bulanan, dan opini yang terus berubah pelan-pelan menggerus ringtangan lama, diam-diam membangun struktur baru”. Pendidikan multikultural adalah pendidikan yang menghargai perbedaan dan mewadahi beragam perspektif dari berbagai kelompok kultural. Pendidikan multicultural diharapkan dapat member sambungan untuk mewujudkan apa yang diimpikan oleh pemimpin hak-hak sipil Martin Luther King: sebuah bangsa dimana anak-anak akan dinilai bukan berdasarkan warna kulit, tetapi berdasarkan kualitas karakternya. Tujuan penting dari pendidikan multicultural adalah pemerataan kesempatan bagi semua murid. Ini termasuk mempersempit gap dalam prestasi akademik antara murid kelompok utama dengan kelompok minoritas (Bennett, 2003; Pang, 2001; Schmidt & Mosenthal, 2001).
Sebagai sebuah bidang, pendidikan multikultural mencakup isu-isu yang berkaitan dengan status sosioekonomi, etnisitas, dan gender. Karena keadilan adalah salah satu nilai dasar dari bidang ini, maka reduksi preasangka dan pedagogi ekuitas menjadi komponen utamanya (Banks, 2001). Reduksi prasangka adalah aktivitas yang dapat diimplementasikan guru di kelas untuk mengeliminasi pandangan nergatif dan stereotip terhadap orang lain. Pedagogi ekuitas adalah modifikasi proses pengajaran dengan memasukkan materi dan strategi pembelajaran yang tepat baik itu untuk anak lelaki maupun perempuan dan untuk semua kelompok etnis.  

Memberdayakan Murid
Pemberdayaan (empowerment) berarti member orang kemampuan intelektual dan keterampilan memecahkan masalah agar berhasil dan menciptakan dunia yang lebih adil. Pemberdayaan masih  menjadi tema penting dalam pendidikan multicultural dewasa ini (Schmidt, 2001). Menurut pandangan ini, sekolah harus member murid kesempatan untuk belajar tentang penglaman, perjuangan, dan visi dan berbagai kelompok cultural dan etnis yang berbeda-beda (Bank, 2001, 2002, 2003).
Harapannya adalah hal ini akan meningkatkan rasa harga diri minoritas, mengurangi prasangka, dan memberikan kesempatan pendidikan yang lebih setara, harapan lainnnya adalah hal ini akan membantu murid kulit putih untuk menjadi lebih toleran kepada kelompok minoritas dan agar baik itu murid kulit putih dan kulit berwarna akan mengembangkan beragam perspektif dalam kurikulumnya. Sonia Nieto (1992), seorang keturunan Puerto Rico yang besar di New York City, percaya bahwa pendidikannya membuatnya merasa latar belakang kulturalnya kelihatan agak buruk. Dia memberikan rekomendasi sebagai berikut:
·         Kurikulum sekolah harus jelas antirasi dan antidiskriminasi. Murid harus bebas mendiskusikan isu etnis dan diskriminasi.
·         Pendidikan multikultural harus menjadi bagian dari setiap pendidikan murid. Semua murid harus menjadi bilingual dan mempelajari perspektif cultural yang berbeda-beda.
·         Murid harus dilatih untuk menjadi sadar budaya (kultur). Ini berarti mengajak murid untuk lebih terampil dalam menganalisan kultur dan lebih menyadari faktor historis, sosial, dan politik yang membentuk pandangan mereka tentang kultur dan etnis.

Pengajaran yang Relevan Secara Kultural
Pengajaran yang relevan kultural adalah aspek penting dari pendidikan multicultural (Gay, 2000; Irvine & Armento, 2001). Pelajaran ini dimaksudkan untnuk menjalin habungan dengan latar belakang kultural dari pelajar (Pang, 2001). Pakar pendidikan multicultural percaya bahwa guru yang baik akan mengetahui dan mengintegrasikan pengajaran yang relevan secara kultural kedalam kurikulum karena akan membuat pengajaran menjadi lebih efektif (Diaz, 2001).
Pendidikan yang Berpusat pada Isu
Dalam pendekatan ini, murid diajari secara sistematis untuk mengkaji isu-isu yang berkaitan dengan kesetaraan dan keadilan social. Pendidikan ini tak hanya mengklarifikasi nilai, tetapi juga mengkaji alternative dan konsekuensi dari pandangan tertentu yang dianut murid.
Meningkatkan Hubungan di Antara Anak dari Kelompok Etnis yang Berbeda-beda
Kelas Jigsaw, dikelas ini murid dari berbagai latar belakang kultural yang berbeda diminta bekerja sama untuk mengerjakan beberapa bagian yang berbeda dari suatu tugas untuk meraih tujuan yang sama. Terkadang strategi kelas Jigsaw ini dideskripsikn sebagai upaya untuk menciptakan tujuan utama atau tugas bersama untuk murid .




About